Wiwi Widianti, S.Pd. ( Guru Madrasah Aliyah Sahid)
Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah seminar daring mengenai pendidikan vokasi di Jerman. Salah satu nara sumber dalam seminar tersebut adalah seorang ahli botani yang sedang melakukan riset di Jerman mengenai kayu gaharu. Jujur, saya belum pernah kenal jenis kayu gaharu itu seperti apa. Apa istimewanya kayu ini hingga seseorang melakukan risetnya ke Jerman.
Gaharu. Namanya indah. Lalu saya mencoba mencari informasi mengenai kayu gaharu ini.
Gaharu adalah kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh sejumlah spesies pohon dari marga/genus Aquilaria, terutama A. malaccensis. Resin ini digunakan dalam industri wangi-wangian (parfum dan setanggi) karena berbau harum. Gaharu sejak awal era modern (2000 tahun yang lalu) telah menjadi komoditi perdagangan dari Kepulauan Nusantara ke India, Persia, Jazirah Arab, serta Afrika Timur. (Wikipedia).
Di Indonesia, spesies yang umum menghasilkan kayu gaharu adalah Aquilaria malaccensis, Aquilaria microcarpa, Aquilaria filaria, dan Gyrinops versteegii. Pohon-pohon penghasil gaharu ini banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Gaharu terbentuk sebagai respons pohon terhadap infeksi jamur atau kerusakan pada batangnya, menghasilkan resin aromatik yang disebut gaharu atau oud.
Apa istimewanya gaharu? Untuk menghasilkan aroma wanginya, gaharu harus terluka. Entah luka alami seperti dahan yang patah, atau luka yang disengaja oleh manusia. Dalam lukanya tersebut, ada mikroba yang membentuk senyawa dan menghasilkan aroma wangi. Intinya begitu. Untuk menjadi wangi, gaharu harus terluka.
Bagaimana jika kita adalah gaharu? Untuk menjadi seorang yang bermanfaat, kita harus ditempa, harus terluka. Di era pertengahan tahun 90-an, adalah hal yang masih lumrah jika ada seorang guru menghukum muridnya dengan memukul telapak tangan menggunakan mistar. Atau mencubit kecil di lengan tangan. Itu yang saya ingat betul dalam kenangan. Apakah waktu itu kita menangis? Tentu tidak. Hanya meringis sedikit. Apakah waktu itu kita melaporkannya ke orang tua? Tentu saja iya, jika berani. Sebab, hukuman itu justru akan ditambah oleh orang tua kita.
Guru-guru dan orang tua kita pada saat itu telah bersinergi dalam menyiapkan mental kita, agar kelak di dua puluh tahun mendatang, kita tidak menjadi manusia yang lemah. Hukuman dari guru-guru dan orang tua dalam koridor kewajaran adalah layaknya gaharu yang sedang berproses dalam lukanya. Dari luka itu kita belajar apa arti ketahanan. Kita mungkin merasa menderita dan terluka oleh hukuman, tapi justru itu yang menjadikan kita lebih kuat.
Gaharu terbentuk dari luka, baik luka alami maupun luka yang disengaja oleh manusia. Luka yang disengaja oleh manusia itu bisa jadi juga luka yang benar-benar membuat kita tersakiti. Imam Syafi’i berkata : “Orang pandir menyerang aku dengan kata-kata kasar. Maka aku tidak ingin menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah sabar. Aku bagai kayu gaharu, saat dibakar ia menebarkan wangi”. (Diwan Asy-Syafi’i, hal. 156).
Nilai apa yang bsia kita ambil dari kayu gaharu?
Mungkin saja saat ini kita sedang menempuh perjalanan yang panjang dan terjal. Mungkin saja kini kita sedang berada pada masa penuh susah dan luka dalam menuntut ilmu maupun dalam mensyiarkan ilmu. Tak mengapa. Ini adalah sebuah proses. Kelak ada masanya kita mewangi seperti gaharu. Bisa membawa manfaat bagi yang dekat dengan kita. Ikut merasakan wanginya kita.
Jangan pernah patah semangat. Jadilah gaharu.
Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah seminar daring mengenai pendidikan vokasi di Jerman. Salah satu nara sumber dalam seminar tersebut adalah seorang ahli botani yang sedang melakukan riset di Jerman mengenai kayu gaharu. Jujur, saya belum pernah kenal jenis kayu gaharu itu seperti apa. Apa istimewanya kayu ini hingga seseorang melakukan risetnya ke Jerman.
Gaharu. Namanya indah. Lalu saya mencoba mencari informasi mengenai kayu gaharu ini.
Gaharu adalah kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh sejumlah spesies pohon dari marga/genus Aquilaria, terutama A. malaccensis. Resin ini digunakan dalam industri wangi-wangian (parfum dan setanggi) karena berbau harum. Gaharu sejak awal era modern (2000 tahun yang lalu) telah menjadi komoditi perdagangan dari Kepulauan Nusantara ke India, Persia, Jazirah Arab, serta Afrika Timur. (Wikipedia).
Di Indonesia, spesies yang umum menghasilkan kayu gaharu adalah Aquilaria malaccensis, Aquilaria microcarpa, Aquilaria filaria, dan Gyrinops versteegii. Pohon-pohon penghasil gaharu ini banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Gaharu terbentuk sebagai respons pohon terhadap infeksi jamur atau kerusakan pada batangnya, menghasilkan resin aromatik yang disebut gaharu atau oud.
Apa istimewanya gaharu? Untuk menghasilkan aroma wanginya, gaharu harus terluka. Entah luka alami seperti dahan yang patah, atau luka yang disengaja oleh manusia. Dalam lukanya tersebut, ada mikroba yang membentuk senyawa dan menghasilkan aroma wangi. Intinya begitu. Untuk menjadi wangi, gaharu harus terluka.
Bagaimana jika kita adalah gaharu? Untuk menjadi seorang yang bermanfaat, kita harus ditempa, harus terluka. Di era pertengahan tahun 90-an, adalah hal yang masih lumrah jika ada seorang guru menghukum muridnya dengan memukul telapak tangan menggunakan mistar. Atau mencubit kecil di lengan tangan. Itu yang saya ingat betul dalam kenangan. Apakah waktu itu kita menangis? Tentu tidak. Hanya meringis sedikit. Apakah waktu itu kita melaporkannya ke orang tua? Tentu saja iya, jika berani. Sebab, hukuman itu justru akan ditambah oleh orang tua kita.
Guru-guru dan orang tua kita pada saat itu telah bersinergi dalam menyiapkan mental kita, agar kelak di dua puluh tahun mendatang, kita tidak menjadi manusia yang lemah. Hukuman dari guru-guru dan orang tua dalam koridor kewajaran adalah layaknya gaharu yang sedang berproses dalam lukanya. Dari luka itu kita belajar apa arti ketahanan. Kita mungkin merasa menderita dan terluka oleh hukuman, tapi justru itu yang menjadikan kita lebih kuat.
Gaharu terbentuk dari luka, baik luka alami maupun luka yang disengaja oleh manusia. Luka yang disengaja oleh manusia itu bisa jadi juga luka yang benar-benar membuat kita tersakiti. Imam Syafi’i berkata : “Orang pandir menyerang aku dengan kata-kata kasar. Maka aku tidak ingin menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah sabar. Aku bagai kayu gaharu, saat dibakar ia menebarkan wangi”. (Diwan Asy-Syafi’i, hal. 156).
Nilai apa yang bsia kita ambil dari kayu gaharu?
Mungkin saja saat ini kita sedang menempuh perjalanan yang panjang dan terjal. Mungkin saja kini kita sedang berada pada masa penuh susah dan luka dalam menuntut ilmu maupun dalam mensyiarkan ilmu. Tak mengapa. Ini adalah sebuah proses. Kelak ada masanya kita mewangi seperti gaharu. Bisa membawa manfaat bagi yang dekat dengan kita. Ikut merasakan wanginya kita.
Jangan pernah patah semangat. Jadilah gaharu.
Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah seminar daring mengenai pendidikan vokasi di Jerman. Salah satu nara sumber dalam seminar tersebut adalah seorang ahli botani yang sedang melakukan riset di Jerman mengenai kayu gaharu. Jujur, saya belum pernah kenal jenis kayu gaharu itu seperti apa. Apa istimewanya kayu ini hingga seseorang melakukan risetnya ke Jerman.
Gaharu. Namanya indah. Lalu saya mencoba mencari informasi mengenai kayu gaharu ini.
Gaharu adalah kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh sejumlah spesies pohon dari marga/genus Aquilaria, terutama A. malaccensis. Resin ini digunakan dalam industri wangi-wangian (parfum dan setanggi) karena berbau harum. Gaharu sejak awal era modern (2000 tahun yang lalu) telah menjadi komoditi perdagangan dari Kepulauan Nusantara ke India, Persia, Jazirah Arab, serta Afrika Timur. (Wikipedia).
Di Indonesia, spesies yang umum menghasilkan kayu gaharu adalah Aquilaria malaccensis, Aquilaria microcarpa, Aquilaria filaria, dan Gyrinops versteegii. Pohon-pohon penghasil gaharu ini banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Gaharu terbentuk sebagai respons pohon terhadap infeksi jamur atau kerusakan pada batangnya, menghasilkan resin aromatik yang disebut gaharu atau oud.
Apa istimewanya gaharu? Untuk menghasilkan aroma wanginya, gaharu harus terluka. Entah luka alami seperti dahan yang patah, atau luka yang disengaja oleh manusia. Dalam lukanya tersebut, ada mikroba yang membentuk senyawa dan menghasilkan aroma wangi. Intinya begitu. Untuk menjadi wangi, gaharu harus terluka.
Bagaimana jika kita adalah gaharu? Untuk menjadi seorang yang bermanfaat, kita harus ditempa, harus terluka. Di era pertengahan tahun 90-an, adalah hal yang masih lumrah jika ada seorang guru menghukum muridnya dengan memukul telapak tangan menggunakan mistar. Atau mencubit kecil di lengan tangan. Itu yang saya ingat betul dalam kenangan. Apakah waktu itu kita menangis? Tentu tidak. Hanya meringis sedikit. Apakah waktu itu kita melaporkannya ke orang tua? Tentu saja iya, jika berani. Sebab, hukuman itu justru akan ditambah oleh orang tua kita.
Guru-guru dan orang tua kita pada saat itu telah bersinergi dalam menyiapkan mental kita, agar kelak di dua puluh tahun mendatang, kita tidak menjadi manusia yang lemah. Hukuman dari guru-guru dan orang tua dalam koridor kewajaran adalah layaknya gaharu yang sedang berproses dalam lukanya. Dari luka itu kita belajar apa arti ketahanan. Kita mungkin merasa menderita dan terluka oleh hukuman, tapi justru itu yang menjadikan kita lebih kuat.
Gaharu terbentuk dari luka, baik luka alami maupun luka yang disengaja oleh manusia. Luka yang disengaja oleh manusia itu bisa jadi juga luka yang benar-benar membuat kita tersakiti. Imam Syafi’i berkata : “Orang pandir menyerang aku dengan kata-kata kasar. Maka aku tidak ingin menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah sabar. Aku bagai kayu gaharu, saat dibakar ia menebarkan wangi”. (Diwan Asy-Syafi’i, hal. 156).
Nilai apa yang bsia kita ambil dari kayu gaharu?
Mungkin saja saat ini kita sedang menempuh perjalanan yang panjang dan terjal. Mungkin saja kini kita sedang berada pada masa penuh susah dan luka dalam menuntut ilmu maupun dalam mensyiarkan ilmu. Tak mengapa. Ini adalah sebuah proses. Kelak ada masanya kita mewangi seperti gaharu. Bisa membawa manfaat bagi yang dekat dengan kita. Ikut merasakan wanginya kita.
Jangan pernah patah semangat. Jadilah gaharu.
Pendaftaran Santri Baru Tahun Ajaran 2026/2027 sudah dibuka!
Ingin anak Anda tumbuh di lingkungan pendidikan Islami, berkarakter, dan penuh prestasi?
Bergabunglah dengan Madrasah Aliyah Sahid di Pondok Pesantren Modern Sahid
📞 Info & Formulir: PPDB MA Sahid
📞 Hubungi Admin via WhatsApp: Chat Me
📍 Cek Lokasi MA Sahid