Banyak orang mengira hidup di pesantren itu membosankan, penuh aturan, dan serba ketat. Padahal, kalau kamu pernah tinggal di sana, kamu bakal tahu kalau kehidupan santri justru seru, hangat, dan penuh cerita lucu setiap harinya.

Pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, tapi juga tempat belajar tentang kehidupan santri, persahabatan dan kemandirian.

Drama Subuh: Antara Bangun dan Pura-Pura Tidur

Setiap pagi di pesantren punya cerita sendiri.
Jam 4 subuh, azan berkumandang, dan kamu dihadapkan pada pilihan sulit: bangun atau pura-pura nggak denger. Tapi percayalah, teman sekamar nggak bakal kasih kesempatan buat malas. Mereka bisa jadi “alarm hidup” yang siap bangunin kamu dengan gaya masing-masing 😆

Air mandi pagi yang super dingin pun jadi teman setia. Tapi justru dari situ kamu belajar arti disiplin dan keteguhan hati. Hari-hari terasa berat di awal, tapi lama-lama kamu akan bangga bisa melaluinya.

Belajar di Pesantren Itu Unik dan Fleksibel

Di pesantren, belajar nggak melulu soal duduk di kelas dan dengar ceramah ustadz. Kadang justru ilmu paling berharga datang dari obrolan santai di teras asrama atau cerita ringan setelah shalat berjamaah.

Santri belajar untuk menghargai waktu, memahami adab, dan membiasakan diri hidup dalam kebaikan. Semua kegiatan — dari bersih-bersih, makan bareng, sampai saling tolong — adalah bagian dari pendidikan karakter.

Antara Disiplin dan Tawa Bersama

Ya, pesantren memang punya banyak aturan. Tapi jangan salah, di balik semua itu ada kehangatan dan tawa yang selalu dirindukan.

Ada momen lucu waktu teman ketiduran saat ngaji, atau kisah seru saat “rajin mendadak” menjelang inspeksi kebersihan. Semua itu jadi cerita yang tak ternilai, yang kelak akan kamu kenang dengan senyum.

Pesantren Bukan Tempat yang Menakutkan

Hidup di pesantren mengajarkan banyak hal:

  • Bagaimana bangun sebelum subuh,

  • Bagaimana menghargai waktu,

  • Bagaimana hidup sederhana tapi bermakna.

Di pesantren, kamu bukan hanya belajar agama, tapi juga belajar tentang arti hidup dan kebersamaan. Kamu menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana — segelas teh hangat setelah subuh, tawa kecil bersama teman, dan keheningan malam saat membaca Al-Qur’an.

Penutup

Jadi, kalau kamu masih berpikir hidup di pesantren itu menakutkan, coba deh datang dan lihat sendiri.
Kamu bakal sadar kalau di balik jadwal padat dan aturan ketat, ada suasana hangat, penuh cinta, dan keberkahan yang sulit ditemukan di tempat lain.

Hidup di pesantren bukan tentang meninggalkan dunia, tapi tentang menemukan makna hidup yang sesungguhnya.

Wiwi Widianti, S.Pd. ( Guru Madrasah Aliyah Sahid)

Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah seminar daring mengenai pendidikan vokasi di Jerman. Salah satu nara sumber dalam seminar tersebut adalah seorang ahli botani yang sedang melakukan riset di Jerman mengenai kayu gaharu. Jujur, saya belum pernah kenal jenis kayu gaharu itu seperti apa. Apa istimewanya kayu ini hingga seseorang melakukan risetnya ke Jerman.

Gaharu. Namanya indah. Lalu saya mencoba mencari informasi mengenai kayu gaharu ini.

Gaharu adalah kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh sejumlah spesies pohon dari marga/genus Aquilaria, terutama A. malaccensis. Resin ini digunakan dalam industri wangi-wangian (parfum dan setanggi) karena berbau harum. Gaharu sejak awal era modern (2000 tahun yang lalu) telah menjadi komoditi perdagangan dari Kepulauan Nusantara ke India, Persia, Jazirah Arab, serta Afrika Timur. (Wikipedia).

Di Indonesia, spesies yang umum menghasilkan kayu gaharu adalah Aquilaria malaccensis, Aquilaria microcarpa, Aquilaria filaria, dan Gyrinops versteegii. Pohon-pohon penghasil gaharu ini banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Gaharu terbentuk sebagai respons pohon terhadap infeksi jamur atau kerusakan pada batangnya, menghasilkan resin aromatik yang disebut gaharu atau oud.

Apa istimewanya gaharu? Untuk menghasilkan aroma wanginya, gaharu harus terluka. Entah luka alami seperti dahan yang patah, atau luka yang disengaja oleh manusia. Dalam lukanya tersebut, ada mikroba yang membentuk senyawa dan menghasilkan aroma wangi. Intinya begitu. Untuk menjadi wangi, gaharu harus terluka.

Bagaimana jika kita adalah gaharu? Untuk menjadi seorang yang bermanfaat, kita harus ditempa, harus terluka. Di era pertengahan tahun 90-an, adalah hal yang masih lumrah jika ada seorang guru menghukum muridnya dengan memukul telapak tangan menggunakan mistar. Atau mencubit kecil di lengan tangan. Itu yang saya ingat betul dalam kenangan. Apakah waktu itu kita menangis? Tentu tidak. Hanya meringis sedikit. Apakah waktu itu kita melaporkannya ke orang tua? Tentu saja iya, jika berani. Sebab, hukuman itu justru akan ditambah oleh orang tua kita.

Guru-guru dan orang tua kita pada saat itu telah bersinergi dalam menyiapkan mental kita, agar kelak di dua puluh tahun mendatang, kita tidak menjadi manusia yang lemah. Hukuman dari guru-guru dan orang tua dalam koridor kewajaran adalah layaknya gaharu yang sedang berproses dalam lukanya. Dari luka itu kita belajar apa arti ketahanan. Kita mungkin merasa menderita dan terluka oleh hukuman, tapi justru itu yang menjadikan kita lebih kuat.

Gaharu terbentuk dari luka, baik luka alami maupun luka yang disengaja oleh manusia. Luka yang disengaja oleh manusia itu bisa jadi juga luka yang benar-benar membuat kita tersakiti. Imam Syafi’i berkata : “Orang pandir menyerang aku dengan kata-kata kasar. Maka aku tidak ingin menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah sabar. Aku bagai kayu gaharu, saat dibakar ia menebarkan wangi”. (Diwan Asy-Syafi’i, hal. 156).

Nilai apa yang bsia kita ambil dari kayu gaharu?

Mungkin saja saat ini kita sedang menempuh perjalanan yang panjang dan terjal. Mungkin saja kini kita sedang berada pada masa penuh susah dan luka dalam menuntut ilmu maupun dalam mensyiarkan ilmu. Tak mengapa. Ini adalah sebuah proses. Kelak ada masanya kita mewangi seperti gaharu. Bisa membawa manfaat bagi yang dekat dengan kita. Ikut merasakan wanginya kita.

Jangan pernah patah semangat. Jadilah gaharu.

Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah seminar daring mengenai pendidikan vokasi di Jerman. Salah satu nara sumber dalam seminar tersebut adalah seorang ahli botani yang sedang melakukan riset di Jerman mengenai kayu gaharu. Jujur, saya belum pernah kenal jenis kayu gaharu itu seperti apa. Apa istimewanya kayu ini hingga seseorang melakukan risetnya ke Jerman.

Gaharu. Namanya indah. Lalu saya mencoba mencari informasi mengenai kayu gaharu ini.

Gaharu adalah kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh sejumlah spesies pohon dari marga/genus Aquilaria, terutama A. malaccensis. Resin ini digunakan dalam industri wangi-wangian (parfum dan setanggi) karena berbau harum. Gaharu sejak awal era modern (2000 tahun yang lalu) telah menjadi komoditi perdagangan dari Kepulauan Nusantara ke India, Persia, Jazirah Arab, serta Afrika Timur. (Wikipedia).

Di Indonesia, spesies yang umum menghasilkan kayu gaharu adalah Aquilaria malaccensis, Aquilaria microcarpa, Aquilaria filaria, dan Gyrinops versteegii. Pohon-pohon penghasil gaharu ini banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Gaharu terbentuk sebagai respons pohon terhadap infeksi jamur atau kerusakan pada batangnya, menghasilkan resin aromatik yang disebut gaharu atau oud.

Apa istimewanya gaharu? Untuk menghasilkan aroma wanginya, gaharu harus terluka. Entah luka alami seperti dahan yang patah, atau luka yang disengaja oleh manusia. Dalam lukanya tersebut, ada mikroba yang membentuk senyawa dan menghasilkan aroma wangi. Intinya begitu. Untuk menjadi wangi, gaharu harus terluka.

Bagaimana jika kita adalah gaharu? Untuk menjadi seorang yang bermanfaat, kita harus ditempa, harus terluka. Di era pertengahan tahun 90-an, adalah hal yang masih lumrah jika ada seorang guru menghukum muridnya dengan memukul telapak tangan menggunakan mistar. Atau mencubit kecil di lengan tangan. Itu yang saya ingat betul dalam kenangan. Apakah waktu itu kita menangis? Tentu tidak. Hanya meringis sedikit. Apakah waktu itu kita melaporkannya ke orang tua? Tentu saja iya, jika berani. Sebab, hukuman itu justru akan ditambah oleh orang tua kita.

Guru-guru dan orang tua kita pada saat itu telah bersinergi dalam menyiapkan mental kita, agar kelak di dua puluh tahun mendatang, kita tidak menjadi manusia yang lemah. Hukuman dari guru-guru dan orang tua dalam koridor kewajaran adalah layaknya gaharu yang sedang berproses dalam lukanya. Dari luka itu kita belajar apa arti ketahanan. Kita mungkin merasa menderita dan terluka oleh hukuman, tapi justru itu yang menjadikan kita lebih kuat.

Gaharu terbentuk dari luka, baik luka alami maupun luka yang disengaja oleh manusia. Luka yang disengaja oleh manusia itu bisa jadi juga luka yang benar-benar membuat kita tersakiti. Imam Syafi’i berkata : “Orang pandir menyerang aku dengan kata-kata kasar. Maka aku tidak ingin menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah sabar. Aku bagai kayu gaharu, saat dibakar ia menebarkan wangi”. (Diwan Asy-Syafi’i, hal. 156).

Nilai apa yang bsia kita ambil dari kayu gaharu?

Mungkin saja saat ini kita sedang menempuh perjalanan yang panjang dan terjal. Mungkin saja kini kita sedang berada pada masa penuh susah dan luka dalam menuntut ilmu maupun dalam mensyiarkan ilmu. Tak mengapa. Ini adalah sebuah proses. Kelak ada masanya kita mewangi seperti gaharu. Bisa membawa manfaat bagi yang dekat dengan kita. Ikut merasakan wanginya kita.

Jangan pernah patah semangat. Jadilah gaharu.

Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah seminar daring mengenai pendidikan vokasi di Jerman. Salah satu nara sumber dalam seminar tersebut adalah seorang ahli botani yang sedang melakukan riset di Jerman mengenai kayu gaharu. Jujur, saya belum pernah kenal jenis kayu gaharu itu seperti apa. Apa istimewanya kayu ini hingga seseorang melakukan risetnya ke Jerman.

Gaharu. Namanya indah. Lalu saya mencoba mencari informasi mengenai kayu gaharu ini.

Gaharu adalah kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh sejumlah spesies pohon dari marga/genus Aquilaria, terutama A. malaccensis. Resin ini digunakan dalam industri wangi-wangian (parfum dan setanggi) karena berbau harum. Gaharu sejak awal era modern (2000 tahun yang lalu) telah menjadi komoditi perdagangan dari Kepulauan Nusantara ke India, Persia, Jazirah Arab, serta Afrika Timur. (Wikipedia).

Di Indonesia, spesies yang umum menghasilkan kayu gaharu adalah Aquilaria malaccensis, Aquilaria microcarpa, Aquilaria filaria, dan Gyrinops versteegii. Pohon-pohon penghasil gaharu ini banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Gaharu terbentuk sebagai respons pohon terhadap infeksi jamur atau kerusakan pada batangnya, menghasilkan resin aromatik yang disebut gaharu atau oud.

Apa istimewanya gaharu? Untuk menghasilkan aroma wanginya, gaharu harus terluka. Entah luka alami seperti dahan yang patah, atau luka yang disengaja oleh manusia. Dalam lukanya tersebut, ada mikroba yang membentuk senyawa dan menghasilkan aroma wangi. Intinya begitu. Untuk menjadi wangi, gaharu harus terluka.

Bagaimana jika kita adalah gaharu? Untuk menjadi seorang yang bermanfaat, kita harus ditempa, harus terluka. Di era pertengahan tahun 90-an, adalah hal yang masih lumrah jika ada seorang guru menghukum muridnya dengan memukul telapak tangan menggunakan mistar. Atau mencubit kecil di lengan tangan. Itu yang saya ingat betul dalam kenangan. Apakah waktu itu kita menangis? Tentu tidak. Hanya meringis sedikit. Apakah waktu itu kita melaporkannya ke orang tua? Tentu saja iya, jika berani. Sebab, hukuman itu justru akan ditambah oleh orang tua kita.

Guru-guru dan orang tua kita pada saat itu telah bersinergi dalam menyiapkan mental kita, agar kelak di dua puluh tahun mendatang, kita tidak menjadi manusia yang lemah. Hukuman dari guru-guru dan orang tua dalam koridor kewajaran adalah layaknya gaharu yang sedang berproses dalam lukanya. Dari luka itu kita belajar apa arti ketahanan. Kita mungkin merasa menderita dan terluka oleh hukuman, tapi justru itu yang menjadikan kita lebih kuat.

Gaharu terbentuk dari luka, baik luka alami maupun luka yang disengaja oleh manusia. Luka yang disengaja oleh manusia itu bisa jadi juga luka yang benar-benar membuat kita tersakiti. Imam Syafi’i berkata : “Orang pandir menyerang aku dengan kata-kata kasar. Maka aku tidak ingin menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah sabar. Aku bagai kayu gaharu, saat dibakar ia menebarkan wangi”. (Diwan Asy-Syafi’i, hal. 156).

Nilai apa yang bsia kita ambil dari kayu gaharu?

Mungkin saja saat ini kita sedang menempuh perjalanan yang panjang dan terjal. Mungkin saja kini kita sedang berada pada masa penuh susah dan luka dalam menuntut ilmu maupun dalam mensyiarkan ilmu. Tak mengapa. Ini adalah sebuah proses. Kelak ada masanya kita mewangi seperti gaharu. Bisa membawa manfaat bagi yang dekat dengan kita. Ikut merasakan wanginya kita.

Jangan pernah patah semangat. Jadilah gaharu.


Pendaftaran Santri Baru Tahun Ajaran 2026/2027 sudah dibuka!

Ingin anak Anda tumbuh di lingkungan pendidikan Islami, berkarakter, dan penuh prestasi?
Bergabunglah dengan Madrasah Aliyah Sahid di Pondok Pesantren Modern Sahid

📞 Info & Formulir: PPDB MA Sahid
📞 Hubungi Admin via WhatsApp: Chat Me
📍 Cek Lokasi MA Sahid

Indera Robby Ramdhani, S.Pd ( Guru Sejarah MA Sahid )

Minangkabau sangat terkenal sebagai wilayah yang melahirkan tokoh-tokoh besar dan sangat berpengaruh bagi perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Minangkabau sendiri merujuk pada sebuah etnisitas yang lahir secara kultural yang mendiami wilayah Sumatera Barat. Di tanah Minangkabau itu lahir tokoh-tokoh besar baik yang memiliki pemikiran nasionalis ataupun agamis seperti Imam Bonjol, Mohammad Hatta, Haji  Agus Salim dan Buya Hamka. Dalam artikel ini penulis akan lebih mendalami mengenai sosok karismatik bernama Buya Hamka yang memiliki pemikiran nasionalis sekaligus agamis.

Buya Hamka yang memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lahir pada 17 Februari 1908, beliau lahir di desa Kampung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian danau maninjau, Luhak Agam, Sumatera Barat. Ketika kecil Buya Hamka lebih terkenal dengan nama Abdul Malik, nama karim yang tersemat dalam nama lengkap buya hamka berasal dari nama ayahnya yaitu Haji Abdul Karim Amrullah, sementara Amrullah berasal dari nama kakeknya yaitu Syeikh Muhammad Amrullah. Buya Hamka lahir dari keturunan ulama dan seniman besar di Minangkabau, ayahnya merupakan seorang ulama terkenal sekaligus pembaharu islam di wilayah Minangkabau sementara ibunya yang Bernama Siti Shafiyah berasal dari keluarga seniman.

Lahir di tanah Minang yang dikenal cukup kental dengan nuansa islaminya masa kecil Buya Hamka banyak dihiasi oleh kehidupan yang bercorak islami juga. Setiap hari Buya Hamka belajar mengenai agama di Sekolah Diniyah dan belajar mengaji di surau (ruangan tempat ibadah). Sebagaimana anak kecil biasanya Buya Hamka juga pada masa kecilnya sering bermain permainan tradisional yang sering dimainkan oleh anak-anak seperti petak umpet, main galah, bergelut, bertinju. Ayah Buya Hamka mengajarkan juga kepada anaknya pembelajaran mengenai agama dan kehidupan, selain itu beberapa guru lain yang mengajarkan beliau ilmu agama antara lain, Engku Mudo, Abdul Hamid, Zainuddin Lebay, dan Syeikh Ibrahim Musa Parabek.

Selayaknya orang minang, Pada masa remaja Buya Hamka mulai berkelana dan merantau keluar daerah yaitu ke pulau Jawa. Sewaktu tinggal dan menetap di Jawa, Buya Hamka mulai bertemu dan berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional di Jawa seperti H.O.S Tjokroaminoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Selain sempat bertemu dengan para tokoh pergerakan tersebut. Buya Hamka juga di Pulau Jawa tepatnya di Yogyakarta mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kegiatan kursus-kursus gerakan dan perjuangan yang diselenggarakan oleh organisasi Muhammadiyah dan Syarikat Islam. Merantau ke tanah jawa menjadikan Buya Hamka menjadi pribadi yang lebih dewasa, matang dan kaya akan ilmu pengetahuan tidak hanya mengenai agama tetapi juga persoalan mengenai kehidupan, sosial, pegerakan dan kepemimpinan.

Setelah mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan baru di Jawa kembalilah Buya Hamka ke Padang Panjang, tempat dimana ia tumbuh mejadi remaja. Buya Hamka mulai mencoba menggali potensi yang ada dalam dirinya yaitu dalam bidang seni yang mengalir dari ibunnya. Menulis mulai dilakukan Buya Hamka di Padang Panjang, tulisan pertama Buya Hamka yaitu terkumpul dan dijadikan sebuah buku berjudul “Chatibul Ummah”. Setelah menulis buku tersebut keinginan dan motivasi Buya Hamka menulis dan menjadi sastrawan semakin meningkat. Karya-karya lain bermunculan seperti, “Agama dan Perempuan, Kepentingan Tabligh”. Bahkan Ketika beliau setelah menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah pada tahun 1927 kemudian menuliskan tulisan bergenre roman dengan judul “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Sampai saat ini tulisan tersebut masih banyak dilihat, dibaca dan bahkan sampai dijadikan sebuah film. Tulisan Buya Hamka lain yang bergenre roman yaitu “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”.

Buya Hamka banyak menulis tulisannya tersebut dalam majalah terkemuka pada masanya seperti majalah Seruan Islam, Bintang Islam, Suara Muhammadiyah bahkan Buya Hamka pernah diamanahkan sebagai pemimpin majalah pedoman masyarakat.  Tulisan Buya Hamka tidak hanya terfokus pada bidang agama, tetapi juga menuliskan tulisan dalam bidang fisafat, cerita pendek, novel, dan roman. Melalui media tulisan ini juga Buya Hamka selaku orang yang lahir dari keturunan ulama dan memiliki tingkat keimanan yang tinggi memanfaatkan tulisan sebagai media dakwah. Buya Hamka banyak menuliskan buku-buku atau karya lain yang dapat menggugah iman dan perasaan seseorang seperti, “Pembela Islam (Tarich Sayyidina Abu Bakar), Negara Islam dam Dari Perbendaharaan Lama”.

Setelah Buya Hamka mulai dewasa dan matang usianya, tepatanya pada tahun 1949 saat umur Buya Hamka menginjak 40 tahun beliau mulai tinggal di Jakarta dan aktif dalam ranah politik. Buya Hamka bergabung dan aktif dalam keanggotaan Partai Masyumi, saat itu Masyumi mempunyai posisi dan peranan penting dalam politik islam di Indonesia. Keikutsertaannya dalam ranah politik akhirnya menghantarkan Buya Hamka terpilih menjadi anggota konstituante dari Partai Masyumi hasil Pemilu 1955. Dalam perjalanan politiknya dalam Partai Masyumi Buya Hamka banyak menyuarakan keluh kesalah masyrakat muslim di Indonesia. Ketika terjadi PRRI di Sumatera PSI dan Masyumi ikut tertuduh menjadi dalang dan Buya Hamka sempat diasingkan dan dipenjara. Selaku ulama yang memiliki karisma luar biasa Buya Hamka dipercaya menjaddi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama tahun 1975 dan sampai akhirya Buya Hamka meningggal di Jakarta pada 24 Juli  1981.

Buya Hamka merupakan sosok yang sangat karismatik dengan ciri baju muslim, serban, kacamata dan peci hitam memudahkan beliau untuk dikenal. Buya Hamka merupakan seorang ulama, sastrawan dan politikus. Dalam diri Buya Hamka terdapat dua darah yang mengalir yaitu darah keturunan ulama dan seniman, sehingga Ketika sudah dewasa Buya Hamka menjadi ulama sekaligus sastrawan yang sangat dihormati dan disegani. Sebagai keturunan Minang Buya Hamka memiliki gelar-gelar kehormatan selaku orang minang yang memiliki berbagai peranan penting dan posisi strategis dalam kehidupan. Gelar tersebut seperti “Datuk Indomo” dalam tradisi Minangkabau gelar tersebut dikenal sebagai pejabat pemelihara adat. Sebagai ulama keturunan minang Buya Hamka juga diberikan gelar “Tuanku Syaikh” yaitu berarti ulama besar yag mempunyai keistimewaan keanggotaan dalam rapat adat dengan memegang jabatan sebagai Imam Khatib menurut adat setempat.[].


Pendaftaran Santri Baru Tahun Ajaran 2026/2027 sudah dibuka!

Ingin anak Anda tumbuh di lingkungan pendidikan Islami, berkarakter, dan penuh prestasi?
Bergabunglah dengan Madrasah Aliyah Sahid di Pondok Pesantren Modern Sahid

📞 Info & Formulir: PPDB MA Sahid
📞 Hubungi Admin via WhatsApp: Chat Me
📍 Cek Lokasi MA Sahid

Doamad, M.Pd ( Guru Madrasah Aliyah Sahid)

Saya akan menceritakan kisah nyata yang saya alami di dalam sebuah kelas. Tentu saja ini bukanlah sebuah obrolan resmi kelas, karena ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan mata pelajaran yang saya ampu. Suatu siang saya iseng menceritakan satu peristiwa yang pernah menerjang Aceh, yakni tsunami besar yang menelan puluhan ribu jiwa dan menghancurkan ribuan bangunan dan rumah. Namun, ternyata bangunan masjid raya Aceh tidak hancur diterjang tsunami. Cerita saya awali dengan peristiwa tersebut untuk menumbuhkan simpati terlebih dahulu, sehingga ketika saya melompat pada inti yang ingin saya sampaikan, akan terjadi bias kognitif yang dialami oleh pendengar saya.

Long story short, setelah saya yakin bias kognitif sudah terjadi maka saya ajukan sebuah pernyataan yang saya jadikan sebagai tes bagaimana pendengar bisa terkecoh dengan sebuah pernyataan yang saya ajukan. “Selain masjid raya Aceh, satu bangunan yang tidak hancur adalah makam Cut Njak Dien.” Ketika pernyataan itu saya lontarkan, saya memberi jeda sebentar, untuk langsung mengamati respon wajah dari pendengar. Di sinilah inti dari cerita, hampir semua pendengar menunjukkan wajah takjub. Mengapa bisa terjadi demikian? Dugaan saya dari awal adalah, pertama, adanya presumption bahwa mereka sudah memiliki pengetahuan tentang benar adanya masjid raya Aceh tidak hancur diterjang tsunami. Kedua, adanya bias yang didasari oleh belief bahwa kejadian luar biasa bisa terjadi ketika berkaitan dengan belief. Ketiga, saya menyakini bahwa pendengar sudah tahu Cut Njak Dien adalah pejuang perempuan muslim dari Aceh, dan mereka mengasumsikan makamnya ada di Aceh. Sehingga, saya asumsikan pendengar, dengan kurangnya daya kritis yang memadai, akan menyimpulkan tidak hancurnya makam Cut Njak Dien ketika terjadi tsunami adalah sebuah ‘karamah’ karena dia adalah seorang pejuang perempuan muslim.

Suasana berubah ketika kemudian saya ceritakan makam Cut Njak Dien berada di Sumedang, sehingga ketika peristiwa tsunami terjadi makamnya sama sekali tidak diterjang tsunami. Sebagian tertawa karena merasa tertipu, sebagian yang lain diam entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Informasi yang saya ceritakan sama sekali bukanlah infromasi bohong, hanya saja saya memanipulasi sebuah informasi yang saya harapkan akan menghasilkan kesimpulan yang keliru.

Cerita ini akan membawa kita pada dua hal. Pertama, pikiran manusia sering dihinggapi oleh bias kognitif yang mengarah pada kesimpulan yang keliru, meskipun informasi yang diperoleh benar. Kedua, jika informasi dasarnya tidak diketahui, maka mustahil untuk menghasilkan kesimpulan yang benar. Ketiga, adanya kerancuan berpikir, yakni jenis appeal to authority, bahwa segala informasi yang disampaikan oleh entitas yang lebih tinggi akan selalu benar. Di bagian inilah critical thinking, atau berpikir kritis mutlak diperlukan. Alih-alih langsung mengasosiasikan infromasi yang saya sampaikan dengan sebuah kesimpulan, pendengar harusnya memeriksa beberapa hal dengan mengajukan pertanyaan. Mengapa tsunami tidak memporandakan makam Cut Njak Dien, berapa kekuatan tsunami dan seberapa kuat konstruksi makam? Dimana letak makam? Berapa jauh jaraknya dari bibir pantai? Pemeriksaan terhadap informasi-informasi yang diperoleh ini adalah bagian dari critical thinking.

John Dewey menuliskan critical thinking is an active, persistent, and careful consideration of any belief or supposed form of knowledge in the light of the grounds that support it, and the further conclusions to which it ends. Secara sederhana bisa diartikan sebagai proses aktif untuk mengidentifikasi, mengobservasi, menganalisa, mengevaluasi, merefleksikan, dan menyimpulkan.

Pendidikan adalah proses panjang yang sebenarnya tidak bisa difokuskan hanya pada satu fase, dunia pendidikan. Sebelum masuk sekolah, anak-anak sudah memiliki sistem nilai dan sistem berpikir yang diperoleh dari keluarga dan masyarakat. Artinya, peserta didik bukanlah kertas kosong, akan tetapi semacam kertas yang sudah tercoret, tersketsa, bahkan tergambar secara ‘hampir sempurna’.  Namun, bukan berarti coretan, sketsa dan gambar tersebut tidak bisa dirubah. Sebagian sudah ditanamkan berpikir kritis oleh keluarga dan masyarakatnya, sebagian yang lain mungkin tidak mendapatkannya sama sekali. Berikut adalah beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk melatih dan membentuk critical thinking.

Pertama, tanamkan sikap dan mental rasa ingin tahu terhadap segala hal (sense of curiosity). Tahapan ini sebenarnya klise untuk dibahas, namun pada kenyataannya sering gagal diterapkan. Pemahaman bahwa segala sesuatu tidak akan terwujud tanpa adanya pengetahuan-pengetahuan dasarnya. Toh, tanpa mencari sekalipun, pengetahuan bagi banyak orang saat ini mengahmpiri dengan sendirinya. Ketika, kita scroll untuk mencari hiburan, secara algoritma satu dua kali konten yang memberikan insight pengetahuan tertentu akan muncul. Kita merasa mengetahui banyak hal tanpa harus mencari, padahal itu hanya distorsi. Di sinilah sebenarnya proses penurunan dari sense of curiosity. Metode pengajaran yang berkembang saat ini menyajikan banyak sekali cara yang mengarah pada pengembangan sense of curiosity.

Kedua, pastikan pesrta didik memperoleh akses informasi yang kredibel dan dimana informasi tersebut bisa diperoleh. Basis dari critical thinking adalah pengetahuan yang valid dan terverifikasi. Sebelum era internet, akses informasi terbatas pada media cetak yang terkurasi secara ketat, televisi dan figure tertentu (orang tua dan pendidik). Naasnya, generasi digital native memperoleh akses informasi yang tidak terbatas. Banjir informasi tersebar luas secara liar darimanapun, terutama social media. Hal ini menyebabkan runtuhnya legitimasi otoritas sumber informasi. Mengomentari fenomena ini Tom Nichols (2017) pernah berkelakar, “Beberapa orang terpandai di dunia hadir di internet. Sementara itu, orang-orang yang paling bodoh juga ada di sana, terpisah beberapa ‘klik’ saja.” Hal ini kurang lebih menegaskan, ketersediaan informasi bagi digital native lebih banyak kelirunya daripada benarnya. Di dunia internet inilah seorang pakar bisa dikalahkan oleh sembarang orang tanpa kepakaran apapun.

Ketiga, selalu menaruh keraguan terhadap sebuah informasi (skeptical and suspicious). Akses informasi yang melimpah akan berbahaya jika tidak disertai dengan sikap skeptis dan kecurigaan untuk memeriksa kembali validitas sebuah informasi. Skeptis dan kecurigaan harus dimiliki oleh semua orang. Pertama, tidak semua informasi yang beredar adalah valid dan benar. Kedua, tidak semua informasi relevan dengan wacana yang sedang dibicarakan. Secara sederhana, sikap skeptis ini harus diterapkan kepada isi informasi, sumber informasi, dan  relevansi informasi dengan wacana tertentu. Proses ini bisa disebut sebagai proses analisis dan evaluasi terhadap informasi.

Keempat, ajarkan bagaimana cara menarik kesimpulan yang benar dari kumpulan informasi yang tersedia (logical thought). Ketika informasi dan pengetahuan sudah dimiliki, maka langkah paling akhir adalah bagaimana menyusun informasi-informasi menjadi sebuah kesimpulan yang solid. Kesalahan dalam menarik kesimpulan, meski informasi-informasi sudah terkumpul , disebabkan oleh beberapa hal. Pertama adalah logical fallacy (kerancuan berfkir). Ada banyak sekali jenis logical fallacy yang sering kita lakukan. Namun, hanya akan sebutkan beberapa contoh yang sering diilakukan terutama oleh peserta didik. Bandwagon fallacy, sebuah informasi dan kesimpulan benar jika diyakini oleh banyak orang. Padahal kebenaran tidak berlandaskan pada banyaknya orang yang meyakininya. Argumentum ad hominem, sebuah penyimpulan dengan menyerang personal. Ketika tidak sepakat dengan kesimpulan yang diajukan seseorang, yang harus dilakukan adalah membedah struktur informasi dan penarikan kesimpulannya, alih-alih menyerang personal si pembuat kesimpulan.  Post Hoc Ergo Propter Hoc, kesalahan pengambilan kesimpulan dikarenakan kekeliruan menghubungkan sebab akibat. Ada banyak sekali jenis-jenis logical fallacy yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.

Pada dasarnya semua proses critical thinking melibatkan indentifikasi masalah dan informasi yang tersedia, menganalisa dan mengevaluasi, lalu kemudian melakukan penarikan kesimpulan yang benar. Semua proses tersebut akan menghasilkan hasil yang keliru manakala ada yang rumpang, entah informasi dasarnya, proses analisa dan evaluasinya, serta penarikan kesmpulannya yang keliru. Semua proses itu harus dilakukan secara bertahap.[]

Motion graphic adalah kombinasi antara desain grafis, animasi, tipografi, ilustrasi, dan efek visual yang digunakan untuk menyampaikan pesan secara dinamis. Proses pembuatannya tidak hanya melibatkan kemampuan teknis, tetapi juga kreativitas dan perencanaan yang matang. Pada jurusan Desain Komunikasi Visual, pembuatan motion graphic menjadi salah satu output yang diharapkan. Seperti yang dibuat oleh ananda Azka Ghaisan Khasyi berikut ini:

Langkah pertama dalam pembuatan Motion Graphic, dimulai dengan menentukan tujuan dan arah proyek. Seorang desainer perlu memahami siapa target audiensnya, pesan apa yang ingin disampaikan, berapa lama durasi video yang tepat, dan di mana karya tersebut akan dipublikasikan.

Setelah tujuan jelas, proses berlanjut ke tahap riset dan pengumpulan referensi. Di sinilah desainer mencari inspirasi dari berbagai sumber seperti Behance, Dribbble, Vimeo, atau Pinterest. Referensi ini membantu menentukan gaya visual, palet warna, tipografi, serta mood yang ingin dibangun dalam karya.

Dengan referensi di tangan, konsep mulai dirumuskan. Desainer menentukan tema, nada cerita, dan alur yang akan mengalir dari awal hingga akhir. Konsep ini kemudian dituangkan dalam bentuk naskah atau script, terutama jika video membutuhkan narasi atau voice over. Kalimat-kalimat dalam naskah harus singkat, padat, dan mudah dipahami, agar pesan tersampaikan secara efektif.

Tahap berikutnya adalah membuat storyboard, yaitu serangkaian sketsa kasar yang menggambarkan urutan adegan. Storyboard membantu memvisualisasikan ide sebelum masuk ke proses produksi, sekaligus memudahkan penentuan durasi dan transisi antar scene.

Setelah storyboard siap, desainer mulai membuat elemen-elemen visual yang akan dianimasikan. Ilustrasi, ikon, tipografi, dan bentuk-bentuk grafis dibuat menggunakan software desain seperti Adobe Illustrator atau Figma. Pemilihan warna dan tipografi dilakukan dengan hati-hati agar konsisten dengan identitas visual yang diinginkan.

Semua elemen tersebut kemudian dipindahkan ke software animasi, seperti Adobe After Effects, Blender, atau Cinema 4D. Proses animasi dimulai dengan mengatur komposisi, mengatur posisi dan gerakan elemen, menambahkan efek transisi, hingga mengaplikasikan prinsip-prinsip animasi seperti “ease in” dan “ease out” untuk menciptakan gerakan yang halus dan natural.

Untuk menghidupkan visual, audio memegang peran penting. Musik latar, efek suara, dan narasi ditambahkan agar karya lebih imersif dan emosional. Pemilihan audio yang tepat dapat memperkuat pesan dan meningkatkan daya tarik visual.

Setelah semua elemen visual dan audio menyatu, karya tersebut dirender menjadi file video dengan format yang sesuai, seperti MP4 atau MOV, dan resolusi yang disesuaikan dengan platform publikasi. Tahap terakhir adalah distribusi dan evaluasi. Karya diunggah ke platform yang dituju, lalu dievaluasi berdasarkan respon penonton untuk mengetahui apakah pesan tersampaikan dengan efektif.

Proses pembuatan motion graphic memang membutuhkan waktu, ketelitian, dan kreativitas. Namun, dengan perencanaan yang matang dan penguasaan teknik, hasilnya akan menjadi karya yang memikat mata sekaligus menyentuh pikiran audiens.

Muhammad Ikhwanuddin, S.Hum, C.PSS, C.CRE (Guru MA Sahid)

Dulu, kira-kira dibawah tahun 2010 ketika saya masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) di Daerah Ciputat, saya ingat betul setiap malam pukul 20.00 WIB ada sebuah Program TV luar biasa bertajuk “Hitam Putih” disalah satu stasiun televisi swasta. Acara tersebut cukup ikonik bagi generasi yang lahir awal tahun 2000-an.

Didalam program TV tersebut ada banyak pembahasan yang fokus pada motivasi diri dengan mengundang banyak orang-orang hebat di sekitar kita, orang yang hebat karena prestasinya, karena pantang menyerahnya, karena semangatnya yang tidak kenal lelah. Dan tentu, itu semua disajikan dengan apik oleh pembawa acaranya yaitu Om Dedy Corbuzier.

Dari 16 tahun berjalannya program tersebut, mungkin dengan ratusan bahkan ribuan episode yang sudah mengudara tayang untuk masyarakat Indonesia, ada satu episode yang begitu membekas dihidup saya karena ketika itu sangat relate dengan kondisi pergaulan saya di Sekolah Dasar, episode yang membahas tentang Bullying. Pada episode itu diterangkan bahwa, seseorang tetap bisa sukses walaupun dia adalah korban dari tindakan Bully di sekolahnya.

Dalam dunia konseling, seorang anak akan tahan terhadap perlakuan teman-temannya yang kurang pantas (dalam hal ini contohnya adalah Bullying) ketika anak tersebut ditumbuhkan didalam hati dan pikirannya rasa percaya diri yang kuat. Ya, rasa percaya diri ini yang akan membentengi seorang anak tersebut, karena dia akan fokus hanya kepada sesuatu yang membuat dia bertumbuh, walaupun banyak yang menghina bahkan mencoba menjatuhkannya, seorang anak tersebut selalu bangkit dengan rasa percaya dirinya yang kuat.

Kita tidak akan lebih dalam membahas tentang hal tersebut, kali ini kita akan kembali membahas salah satu episode program TV “Hitam Putih” yang sangat membekas dihidup saya. Singkatnya, di dalam episode itu Om Ded membuat sebuah perumpamaan yang luar biasa dan ini bisa dijadikan pegangan untuk siapapun yang kebetulan hari ini mungkin dunia sedang tidak berada dipihaknya. Tentunya untuk menguatkan diri serta menjawab semua caci maki dari orang lain menjadi sebuah prestasi.

Kurang lebih Om Ded mengatakan begini,

“Jika kamu hari ini banyak di-Bully oleh kawanmu, oleh orang-orang disekitarmu dan mereka berusaha mencelakaimu, anggaplah dirimu itu sebagai sebuah batang besi dan teman-teman yang mem-Bullymu itu sebagai sebuah amplas. Setiap kali kamu di-Bully, disitulah kamu anggap bahwa dirimu yang menjadi sebuah batang besi tersebut sedang diamplas, karena temanmu tadi anggaplah sebagai sebuah amplas. Kamu di-Bully lagi maka kamu sedang diamplas lagi, di-Bully lagi artinya kamu diamplas lagi oleh mereka. Memang menyakitkan dan membutuhkan waktu, tapi ingat, suatu hari amplas itu akan habis dan menjadi barang yang tidak ada gunanya sama sekali kemudian dibuang menjadi sampah, dan ketika itu terjadi, ketika itu juga kamu sudah menjadi sebuah batang

besi yang berkilau, yang bersih, yang berdaya jual tinggi dan berharga bahkan dikagumi oleh banyak orang. Maka, jadilah kuat!”

Ini perumpamaan yang sampai hari ini masih saya pegang, menjadi prinsip dihidup saya, karena apa yang dikatakan Om Ded ini benar, terbukti dari banyak kejadian didalam hidup seseorang bahwa mereka yang sering menghina orang lain dan merasa dirinya paling benar adalah justru mereka yang pada akhirnya jatuh kedalam zona kegagalan. Sebaliknya, betapa banyak orang yang hidup dalam tekanan setiap harinya namun ia sukses melebarkan manfaat bagi orang-orang disekitarnya, menjadi berharga dan dikagumi oleh banyak orang.

Lucunya, sayapun jadi teringat dengan nasihat dari Eyang B.J Habibie, ya betul, beliau adalah Presiden Indonesia yang ketiga!. Beliau pernah mengatakan bahwa,

“Kita harusnya berterima kasih kepada orang yang membenci kita, yang membicarakan kita dibelakang kita. Ya, itu benar! Karena mereka merelakan waktu mereka untuk memikirkan kita disaat kita saja tidak sedikitpun pernah memikirkan mereka!”

Saya menambahkan, bahwa, “Pelaut Handal Tidak Lahir Dari Ombak Yang Tenang” dan “Badai Selalu Menyisakan Pohon Dengan Akar Yang Terbaik”. Semoga kita semua bisa tumbuh menjadi pribadi terbaik versi diri kita sendiri, sesuai dengan apa yang menjadi impian kita dan yang paling penting adalah bagaimana kita bisa menjadi bermanfaat oleh orang-orang yang ada disekitar kita.

Ketika mendengar kata santri, banyak orang langsung membayangkan sosok bersarung, hidup sederhana di pesantren dan sibuk menghafal kitab. Namun hari ini, santri adalah wajah masa depan. Santri bukan hanya ahli ibadah, tapi juga agen perubahan. Ya, santri bisa hebat belajar dengan tekun, berdakwah dengan bijak dan berkarya dengan semangat.

Artikel ini secara khusus menceritakan tentang Santri Pondok Pesantren Modern Sahid yang tak hanya mengaji, tapi juga aktif dalam berbagai kegiatan positif dan produktif.

📖 Belajar: Ilmu adalah Kunci Kemuliaan

Di Pondok Pesantren Modern Sahid, belajar bukan sekadar kewajiban, tapi bentuk ibadah. Santri bangun pagi bukan hanya untuk salat subuh, tapi juga untuk menuntut ilmu sejak fajar menyingsing. Dari ngaji kitab kuning hingga hafalan Al-Qur’an, semuanya dilakukan dengan penuh kesungguhan.

Namun santri Sahid masa kini tidak berhenti di situ. Mereka juga belajar teknologi, menulis, bahkan kewirausahaan. Inilah yang menjadikan santri Pondok Pesantren Modern Sahid sebagai sosok yang hebat karena mampu menggabungkan ilmu agama dan pengetahuan umum secara seimbang.

🕌 Berdakwah: Menyampaikan Kebaikan dengan Cinta

Dakwah tidak harus lewat mimbar besar. Seorang santri berdakwah lewat sikapnya, tutur katanya dan akhlaknya. Bahkan senyum santri bisa menjadi media dakwah yang lembut namun menyentuh.

Santri Pondok Pesantren Modern Sahid telah menunjukkan bahwa dakwah bisa dilakukan dengan banyak cara, termasuk melalui media sosial, video pendek, maupun tulisan-tulisan inspiratif. Dengan demikian, peran santri dalam berdakwah menjadi lebih luas dan relevan dengan zaman.

🛠️ Berkarya: Santri Tak Hanya Mengaji

Siapa bilang santri tidak bisa kreatif? Di lingkungan Pondok Pesantren Modern Sahid, banyak santri yang aktif membuat karya. Baik dalam bentuk tulisan, karya seni, maupun proyek-proyek digital dan kewirausahaan. Semangat berkarya ini menjadikan santri lebih percaya diri dan berdaya guna di masyarakat.

Banyak dari mereka telah menunjukkan bahwa santri bisa berkarya tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman. Ini adalah contoh nyata bahwa santri bisa menjadi pelaku perubahan yang membangun peradaban.

Santri Adalah Harapan Umat

Menjadi santri bukan berarti ketinggalan zaman. Justru santri berada di garis depan perubahan dengan ilmu, iman dan amal sebagai bekal. Terutama bagi santri Pondok Pesantren Modern Sahid, masa depan terbuka lebar untuk berkontribusi di berbagai bidang. Jadilah santri yang tak hanya pandai mengaji, tapi juga cakap berdakwah dan berani berkarya.


“Santri tidak hanya belajar untuk dirinya, tapi untuk menerangi dunia dengan ilmu dan akhlaknya.”
Pondok Pesantren Modern Sahid

Inovasi dan kreativitas kembali ditunjukkan oleh para siswi SMK Sahid Bogor melalui produk unggulan terbaru mereka yang diberi nama Kiki Kuki. Produk ini merupakan hasil kolaborasi antara siswi jurusan Kuliner dan Desain Komunikasi Visual (DKV) yaitu ananda Amara Tsabita Setiakarnawijaya dan Talita Nur Azmi, menampilkan kombinasi sempurna antara cita rasa, kesehatan, dan estetika kemasan yang menarik.

Kiki Kuki adalah cookies sehat yang dibuat dari tepung mocaf (modified cassava flour) — tepung singkong yang difermentasi secara khusus, dikenal sebagai alternatif gluten-free yang aman untuk penderita intoleransi gluten. Tidak hanya sehat, cookies ini juga memiliki tekstur yang lembut (soft) dan rasa yang manis pas, cocok dinikmati oleh semua kalangan, termasuk anak-anak dan lansia.

Keunggulan utama dari produk ini tidak hanya terletak pada komposisi bahan alaminya, tetapi juga pada proses pembuatannya yang higienis dan inovatif. Penggunaan tepung mocaf juga membantu mendukung produk pangan lokal, sekaligus menjadi pilihan yang ramah bagi sistem pencernaan.

Kemasan Kiki Kuki tak kalah menarik. Berkat kreativitas siswi jurusan DKV SMK Sahid Bogor, desain kemasan produk tampil modern, minimalis, dan penuh identitas lokal. Dengan perpaduan warna lembut dan ilustrasi yang menggugah selera, kemasan Kiki Kuki dirancang tak hanya untuk menarik perhatian, tapi juga memberi nilai tambah branding yang kuat dan mudah dikenali.

Produk Kiki Kuki merupakan bagian dari proyek lintas jurusan yang bertujuan mengembangkan jiwa wirausaha dan keterampilan industri kreatif pada siswa SMK Sahid Bogor. Dalam prosesnya, siswi kuliner melakukan pengembangan resep sehat, uji cita rasa, dan pengemasan makanan, sementara siswi DKV mengerjakan aspek identitas visual, dan fotografi produk.

Dalam rangka meningkatkan kemampuan literasi kitab kuning para santri, SMK Sahid Pondok Pesantren Modern Sahid Bogor kembali mengadakan Tes Membaca Kitab Kosong, dengan menggunakan kitab Akhlaq lil Banin sebagai bahan uji utama. Tes ini merupakan salah satu tradisi penting dalam pendidikan pesantren yang bertujuan untuk menguji pemahaman dan kefasihan santri dalam membaca teks Arab gundul (tanpa harakat) secara benar dan tepat.

Kitab Akhlaq lil Banin karya Syekh Umar bin Ahmad Baraja dipilih karena isinya yang sarat dengan nilai-nilai moral dan akhlak yang relevan dengan kehidupan santri. Kitab ini banyak digunakan di berbagai pondok pesantren karena bahasanya yang lugas, materi yang aplikatif, dan sangat sesuai sebagai pengantar dalam pelajaran akhlak Islam.

Makna Tes Kitab Kosong

Tes kitab kosong bukan sekadar ujian teknis membaca, tetapi juga latihan mendalam dalam:

  • Menguasai kaidah nahwu dan sharaf
  • Melatih ketelitian dalam memahami struktur kalimat
  • Menumbuhkan kedisiplinan dan ketekunan dalam belajar kitab kuning
  • Menginternalisasi nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam isi kitab

Dalam pelaksanaannya, para santri diminta membaca potongan teks tanpa harakat dan menerjemahkannya secara lisan di hadapan para penguji. Santri yang mampu membaca dengan baik menunjukkan tidak hanya penguasaan bahasa Arab, tetapi juga pemahaman makna dan konteks isi kitab.

Dalam menghadapi era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0, kemampuan teknologi digital menjadi hal yang mutlak dimiliki oleh para pendidik, terutama guru di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Seiring dengan perkembangan pesat teknologi, keterampilan seperti coding dan pemahaman tentang kecerdasan artifisial (AI) menjadi semakin penting untuk diterapkan dalam proses pembelajaran.

Menjawab tantangan tersebut, diselenggarakanlah pelatihan coding dan kecerdasan artifisial khusus bagi guru SMK, sebagai langkah strategis untuk meningkatkan literasi digital sekaligus mempersiapkan peserta didik yang siap bersaing di dunia kerja masa depan.

Pelatihan ini bertujuan untuk:

  • Membekali guru dengan pengetahuan dasar dan lanjutan mengenai pemrograman (coding), baik dalam bahasa pemrograman Python, JavaScript, atau lainnya.
  • Memperkenalkan konsep dan penerapan kecerdasan buatan dalam kehidupan sehari-hari dan dunia industri.
  • Menunjukkan integrasi AI dalam bidang keahlian di SMK, seperti desain, otomotif, bisnis, hingga teknologi informasi.
  • Mendorong guru untuk mengembangkan project-based learning berbasis teknologi digital.
  • Menyusun perangkat ajar berbasis AI dan coding yang sesuai dengan Kurikulum Merdeka dan kebutuhan dunia kerja.

Dengan pelatihan ini, diharapkan guru SMK tidak hanya menjadi pengajar yang adaptif terhadap teknologi, tetapi juga menjadi inovator pendidikan, yang mampu menginspirasi siswa untuk berkarya di bidang teknologi digital.

Lebih dari sekadar tren, coding dan AI kini menjadi bahasa masa depan. Sudah saatnya guru tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga membekali siswa dengan keterampilan abad ke-21 yang relevan, kontekstual, dan berdaya guna.