Tag Archive for: Sikap Tawadhu Murid terhadap Guru/Ustad

Sahid, Ahad 13 Februari 2022 | 20:00 WIB.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seluruh umat muslim. Tentunya ada tahapan dan etika dalam proses menuntut ilmu tersebut. Dalam menuntut ilmu itu sendiri, salah satu etika yang harus dimiliki seorang murid/santri adalah bersikap tawadhu/rendah hati terhadap guru. Diibaratkan seorang murid hadapan guru, murid laksana seorang pasien yang tidak tahu apa-apa di hadapan dokter yang tahu betul penyakitnya dan bagaimana cara mengobatinya. Imam Al-Ghazali berkata :
اَلْوَظِيفَةُ الثَّالِثَةً: أَنْ لَا يَتَكَبَّرَ عَلَى الْعِلْمِ وَلَا يَتَأَمَّرَ عَلَى الْمُعَلِمِ، بَلْ يُلْقِى إِلَيْهِ زِمَامَ أَمْرِهِ بِالْكُلِّيَةِ فِي كُلِّ تَفْصِيلٍ وَيَذْعَنُ لِنَصِيحَتِهِ إِذْعَانَ الْمَرِيضِ الْجَاهِلِ لِلطَّبِيبِ الْمُشْفِقِ الْحَاذِقِ. وَيَنْبَغِي أَنْ يَتَوَاضَعَ لِمُعَلِّمِهِ وَيَطْلُبَ الثَّوَابَ وَالشَّرَفَ بِخِدْمَتِهِ
Artinya: “Poin ketiga, murid tidak boleh menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya. Tetapi harus tunduk sepenuhnya kepada guru dan mematuhi betul nasihatnya, seperti kepatuhan orang sakit yang tidak tahu cara mengobati penyakitnya kepada seorang dokter ahli yang berpengalaman. Seorang pelajar/murid harus tawadhu terhadap gurunya, serta mengharap pahala dan kemuliaan dengan berkhidmah terhadapnya.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, juz I, halalam 50).

Dari penjelasan imam Al-Ghazali di atas, kita menangkap analogi yang sangat tepat. Posisi murid terhadap guru bagaikan pasien yang tidak tahu cara mengobati penyakitnya di hadapan dokter yang ahli dan berpengalaman. Orang yang tidak tahu apa-apa tentang penyakit yang dideritanya, pasti akan menyerahkan diri secara total kepada dokter untuk diobati. Bahkan seharusnya ketundukan murid kepada seorang guru melebihi tunduknya pasien kepada dokter. Jika dokter mengobati penyakit fisik, maka seorang guru mengobati kebodohan.

Sayyid Murtadla az-Zabidi (wafat 1205 H) menegaskan, posisi murid terhadap guru tidak hanya seperti orang sakit di hadapan dokter. Tapi seperti seorang mayit di hadapan orang yang memandikannya, atau seperti jerami yang hanyut terseret aliran air. Betul-betul patuh secara total. (Murtadla az-Zabidi, Ithâfus Sâdatil Muttaqîn, juz I, halaman 504-505).

Sebagai ‘itibar dan qudwah bagi kita, mari kita tengok kisah ketawadhuan Ibnu Abbas ra, keponakan Rasulullah SWA. Suatu ketika Zaid bin Tsabit ra selesai melakukan shalat jenazah. Melihat itu, Asy-Sya’bi (wafat 104 H) bergegas mendekatkan hewan baghal untuk dikendarai Zaid ra. Lalu Ibnu Abbas datang dan meraih baghal tersebut untuk dinaiki Zaid dengan tujuan tabarrukan dan menghormatinya. “Tidak usah wahai anak paman Rasullullah,” tolak Zaid ra merasa tidak enak. “Beginilah kami disuruh berbuat terhadap ulama dan orang-orang besar”, Ibnu Abbas ra menjawab. “Demikianlah kami disuruh berbuat terhadap keluarga keluarga Nabi kita SAW”, balas Zaid ra sambil mencium tangan Ibnu Abbas ra. Menurut imam Al-Ghazali, salah satu bentuk hormat murid kepada seorang guru adalah dengan memilih pendapat guru, meskipun murid memiliki pendapat sendiri. Karena terkadang pendapat guru itu salah menurut murid, namun hanya dalam perasangkanya yang kurang memiliki pengalaman belajar yang luas. Apa yang terlihat janggal pada guru, terkadang menyimpan rahasia yang tidak diketahui murid. (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, juz I, halaman 50).

Kita bisa menilik kisah perjumpaan Nabi Musa as dengan Nabi Khidlir as. Konon, Nabi Musa merasa tidak ada orang yang lebih pandai dari pada dirinya. Ternyata dugaannya salah, masih ada orang yang memiliki ilmu dan kepandaian di atas kemampuannya, yaitu Nabi Khidlir as. Menyadari hal itu, Nabi Musa as meminta berguru kepada Nabi Khidlir as. Nabi Khidlir as bersedia, tapi dengan satu syarat, yaitu tidak boleh menanyakan keganjilan yang dialaminya selama menjadi murid, Nabi Khidlir as sendiri yang menjelaskannya. Namun Nabi Musa as tidak mampu memenuhi syarat itu. Ia terus menanyakan hal-hal ganjil yang ditemuinya selama mengikuti Nabi Khidlir as. Karena itu, Nabi Musa as gagal berguru dan berpisah dengan Nabi Khidlir as. Kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidlir as di atas mengandung pesan penting. Seorang murid hendaknya menuruti apa kata gurunya. Bahkan seandainya ada kejanggalan terhadap perintahnya, selama tidak bertentangan dengan syari’at. Karena pada hakikatnya, guru mengetahui hal-hal rahasia yang belum diketahui murid. Lalu, begaimana dengan anjuran bertanya jika murid tidak tahu? Bukankah orang yang tidak tahu dianjurkan untuk bertanya? Sebagaimana firman Allah ta’ala:
فَسْئَلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”(QS an-Nahl: 43).

Memang benar demikian. Namun, menurut Al-Ghazali, murid boleh bertanya asalkan sudah mendapat izin dari guru untuk mengajukan pertanyaan. Jadi, sebelum mengajukan pertanyaan, hendaknya murid meminta izin dulu, apakah boleh mengajukan pertanyaan. Sebab, guru lebih tahu kesiapan murid menerima jawaban atas pertanyannya. Salah satu bentuk kesombongan murid, masih menurut Al-Ghazali, adalah tidak mau berguru kecuali kepada guru yang terkenal pakar di bidangnya. (Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmiddîn, juz I, halaman 50-51). Sikap murid seperti itu, yang hanya mau belajar kepada guru yang terkenal kepakarannya, lanjut Al-Ghazali, merupakan kebodohan. Logikanya, orang yang sedang berada dalam kepungan hewan buas, tentu tidak akan membeda-bedakan siapa yang menolongnya. Asalkan bisa selamat dan segara keluar dari kepungan itu. Demikian juga seorang murid yang berada dalam ancaman terkaman api neraka karena kebodohan yang dimilikinya. Untuk selamat dari panas api neraka, tidak perlu memilih-milih siapa orang yang akan menjadi gurunya untuk menyelamatkan dari kebodohan dan api neraka. Asalkan guru itu mampu, maka layak berguru kepadanya. Rasulullah SAW pernah bersabda:
اَلْعِلْمُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ يَأْخُذُهَا حَيْثُ وَجَدَهَا. (رواه ابن عساكر)
Artinya: “Ilmu adalah barang hilangnya orang mukmin, ia akan mengambilnya di mana pun ia menemukannya.” (HR Ibnu ‘Asakir) Rasulullah SAW. menganalogikan ilmu dengan barang berharga milik seorang mukmin yang hilang. Karenanya, sudah sepatutnya di mana pun barang itu ditemukan, segeralah diambilnya. Demikian juga ilmu, pada siapa pun ilmu itu ditemui, maka hendaknya diambil, bahkan ditemui pada orang yang usianya lebih muda darinya.
Para ulama dalam syair Arab mengatakan yang artinya
“Lihatlah apa yang dikatakan jangan lihat siapa yang berbicara”

Demikian pentingnya sifat tawadhu murid terhadap guru. Saat banyak murid tidak lagi menghargai guru, bahkan kenakalan anak didik menjadi problem serius negeri ini, penjelasan imam Al-Ghazali ini perlu kita renungi bersama. Sudahkah kita menjadi murid yang baik? Murid yang mengedepankan sifat tawadhu terhadap guru?
Semoga ketawadhuan dimiliki oleh para santri yang sedang belajar menuntut ilmu agar mendapatkan keberkahan dan ilmu yang bermanfaat.
Wallâhu a’lam.

Tim DM PPMS.